Pagi buta, jarum jam baru menunjuk pukul 03.30, ketika Jenderal Besar Sudirman berjalan tergesa memasuki halaman Istana Yogya. Hari itu, 19 Desember 1948. Sebagai panglima tentara, Sudirman harus bergegas menjumpai presidennya, terkait informasi yang ia terima, bahwa tentara angkara Belanda, akan membombardir kota Yogya beberapa jam lagi.
Presiden pun dibangunkan… dengan bergegas pula ia keluar menjumpai Sudirman. Tak lama berselang, Sudirman sudah melaporkan informasi gawat tadi kepada Bung Karno. “Saya minta dengan sangat agar Bung Karno turut menyingkir. Rencana saya hendak meninggalkan kota ini dan masuk hutan. Ikutlah Bung Karno bersama dengan saya,” ujar Sudirman yang waktu itu masih berusia tiga puluhan tahun.
Dengan emosi terkendali, Bung Karno menjawab, “Dirman, engkau seorang prajurit. Tempatmu di medan pertempuran dengan anak buahmu. Dan tempatmu bukanlah tempat pelarian bagi saya. Saya harus tinggal di sini, dan mungkin bisa berunding untuk kita, dan memimpin rakyat kita semua.”
Kurang puas dengan jawaban Bung Karno, atau karena rasa cemas akan keselamatan presidennya, Sudirman menimpali, “Kemungkinan Belanda mempertaruhkan kepala Bung Karno. Jika Bung Karno tetap tinggal di sini, boleh jadi Bung dibunuh.”
“Dan kalau saya keluar dari sini, Belanda mungkin menembak saya. Dalam kedua kemungkinan saya menghadapi kematian, janganlan engkau khawatir. Saya tidak takut,” jawab Bung Karno menenangkan Sudirman.
Akhirnya, dengan mengepalkan tinjunya, Sudirman bergumam, “Kami akan peringatkan kepada Belanda, kalau Belanda menyakiti Sukarno maka bagi mereka tidak ada ampun lagi. Belanda akan mengalami pembunuhan besar-besaran.”
Tak lama berselang, Sudirman berdiri hendak melangkah keluar. Dengan cemas ia menatap angkasa, memasang telinga, bilamana pesawat pengebom laknat segera tiba. Sudirman belum melihat tanda-tanda itu, karenanya ia masih sempat bertanya, “Apakah ada instruksi terakhir sebelum saya berangkat?”
Sudirman di hutanBung Karno menatap tajam Sudirman, sebagai pemimpin besar revolusi, ia berkata, “Ya. Jangan adakan pertempuran di jalanan dalam kota. Kita tidak mungkin menang. Pindahkan tentaramu keluar kota Dirman, dan… berjuanglah sampai mati. Saya perintahkan kepadamu untuk menyebar tentara ke desa-desa. Isi seluruh desa dan bukit. Tempatkan anak buahmu di setiap semak belukar. Ini adalah perang gerilya semesta….”
Sesaat Bung Karno menarik nafas panjang, dan melanjutkan, “Sekalipun kita harus kembali pada cara amputasi tanpa obat bius, dan mempergunakan daun pisang sebagai perban namun jangan biarkan dunia berkata bahwa kemerdekaan kita dihadiahkan dari dalam tas seorang diplomat. Perlihatkan kepada dunia bahwa kita mebeli kemerdekaan itu dengan mahal, dengan darah, keringat, dan tekad yang tak kunjung padam.”
Spoiler for Soedirman Sang Jenderal Besar
Seperti ada rasa cemas bahwa itu adalah pertemuan terakhir, Bung Karno masih mengalirkan pesan dan perintahnya kepada Sudirman di beranda Istana, di pagi yang buta itu. “Dan… jangan keluar dari desa dan bukit hingga Presidenmu meerintahkannya. Ingatlah, sekalipun para pemimpin tertangkap, orang yang di bawahnya harus menggantikannya, baik ia militer maupun sipil. Dan Indonesia TIDAK AKAN MENYERAH.”
Persis dua jam kemudian atau tepatnya pukul 05.30, langit pagi kota Yogya, tertutup pesawat-pesawat pengebom Belanda. Mereka menghujankan bom tak kurang dari satu jam penuh lamanya. Sesekali, Belanda durjana juga menembakkan roket dari pesawat-pesawat tempur P-51. Sementara, pesawat splitfire buatan Amerika terbang rendah menghujankan pelurunya ke jalanan secara merata.
Sukarno tetap diam di Istana. Ia memeluk Guntur yang menggigil ketakutan. Sudirman dan pasukannya, sudah mengarah ke hutan, siap melancarkan perang gerilya semesta.