Gabung www.shareapic.net untuk menyimpan koleksi foto anda

True Story: Romance Ratna Sari Dewi Sukarno with Former President

Kisah Nyata : Percintaan Ratna Sari Dewi dengan Mantan Presiden Sukarno

Para pejabat penting Indonesia acap kali melakukan kunjungan resmi ke Jepang. Begitu juga sebaliknya. Para birokrat Jepang juga rajin menyambangi Indonesia. Kedekatan kedua negara mencapai puncaknya tahun 1957. Pada tahun tersebut, kesepakatan tentang nilai pampasan perang disepakati.

Kisah kasih antara Sukarno dengan Naoko adalah titik kisar penting untuk memahami masuknya Naoko ke dalam kehidupan sang presiden. Haru-biru cinta mereka tidak seperti kasmaran anak muda yang selalu berpikir tentang dua yang dimiliki berdua. Ini adalah sebuah episode bersambung yang kompleks, yang dipenuhi olah tragedi, intrik, dan persoalan-persoalan yang menyangkut banyak orang, bahkan negara. Bisa dikatakan, jalannya sejarah Indonesia dipengaruhi olah peristiwa ini.


Romantis


Semuanya bermula pada awal tahun 1959, kala Presiden Sukarno sendiri yang bertandang langsung ke Jepang untuk urusan harta pampasan perang. Ia tidak sendirian, tapi membawa rombongan yang untuk ukuran masa itu tergolong banyak bagi sebuah kunjungan kenegaraan, yakni 29 orang. Sebagian besar diantara mereka adalah para menteri anggota kabinet. Sukarno sendiri sangat senang berada di Jepang. Ada beberapa alasan untuk itu.

Pertama, Jepang adalah salah satu kota transit paling strategis di dunia. Kedua, berkaitan dengan kesukaan pribadinya, yakni ketertarikannya pada dunia malam Tokyo, yang dalam kunjungan berikutnya mempertemukannya dengan Naoko Nemoto. Sukarno sendiri mengakui kegemarannya akan kerlap-kerlip dunia hiburan malam Tokyo, khususnya klub malam yang menyediakan jasa geisha, perempuan penghibur ala Jepang. Ia bahkan menganggap wajar-wajar saja kalau ia mengunjungi geisha. Kata Sukarno, “Tiada sesuatu yang melanggar susila mengenai Rumah Geisha. Orang sekedar duduk, makan-makan, bercakap-cakap, dan mendengarkan musik. Hanya itu.”

Sukarno mengunjungi Jepang beberapa kali. Pada tanggal 6 Juni 1959, Sukarno kembali menginjakkan kakinya di Tokyo. Untuk menunjukkan penghargaannya kepada para tamu, tuan rumah menjamu rombongan Sukarno dengan pelayanan yang terbaik. Setelah menghabiskan pikiran di siang hari untuk berunding, para anggota rombongan tentu akan kelelahan. Maka, mereka membutuhkan refreshing. Lagipula, para pejabat Jepang tahu benar bahwa tidaklah sulit untuk memuaskan hati administratur dari Indonesia itu. Sudah menjadi rahasia umum kalau mereka sangat suka menghabiskan waktu di klub malam klub malam yang ada di Tokyo, khususnya daerah elite Akasaka. Untuk pelayanan terbaik, dipilihlah Akasaka’s Copacabana yang terkenal itu. Sepanjang malam anggota rombongan bakal menghabiskan waktu bersuka ria ditemani wanita-wanita cantik.



Mereka bisa mengobrol sepuasnya. Pun kalau mau berdansa, para geisha itu sudah tentu telah terlatih. Bahkan, kalau berdansa sudah tidak cukup lagi sementara hasrat juga meminta untuk segera dipenuhi, maka para tamu bisa saja menyewa gadis-gadis itu untuk one night stand. Tentu, keprofesionalan mereka harus dibayar dengan harga yang sangat tinggi. Haji G. Malikmass juga menyatakan banyak pejabat Indonesia yang suka bertandang ke klub malam-klub malam yang ada di Tokyo. Salah satu di antaranya adalah Ibnu Sutowo, yang pernah menjabat sebagai Direktur Utama Pertamina. Ibnu dikabarkan sering mengunjungi klub Latin Quarter di Akasaka. Di klub malam ini ia menyenangi seorang pramuria bernama Ryokosan.

Di Akasaka’s Copacabana itulah Sukarno bertemu untuk pertama kalinya dengan Naoko Nemoto. Yang berjasa dalam mempertemukan mereka adalah Kubo Masao, seorang pengusaha Jepang dari Perusahaan Dagang Tonichi yang tertarik menanamkan modalnya di Indonesia. Suatu malam, ” imbuh Naoko, ” sehabis nonton film dengan Kubo, aku diajaknya mampir ke Hotel Imperial, ia hanya berkata singkat, ” Ada orang penting yang akan dikenalkan kepadamu “, aku menerut saja. Malam itu, 16 Juni 1959, untuk pertama kalinya aku bertemu dengan Sukarno, presiden pertama RI. Ada rasa senang campur bangga, bisa berkenalan dan makan malam dengan orang nomor satu di Indonesia kala itu.

Untuk seterusnya biarlah kupanggil dia ” Bapak “. Sukarno jatuh hati dengan pramuria ayu itu, apalagi karena pada pertemuan pertama yang berkesan itu sang geisha dengan piawai menyanyikan lagu Indonesia yang sangat populer, Bengawan Solo. Tampaknya Sukarno jatuh hati bukan saja disebabkan oleh paras Naoko, tapi juga karena kepandaian Naoko dalam menari dan menyanyi. Dalam urusan ini, antara Sukarno dan Naoko memiliki satu kesesuaian yang membuat mereka bisa dekat dan nyambung : kecintaan yang dalam akan seni. Dari latar belakangnya, kita tahu bahwa Naoko semenjak kecil memiliki cita-cita berkecimpung dalam dunia kesenian. Sementara itu, Sukarno sendiri mewaarisi darah seni dari ibundanya, Ida Ayu Nyoman Rai, seorang keponakan Raja Singaraja, Bali.

Selama pergaulan hidupnya dengan budaya Bali, sang ibu tentu menyerap dan menyimpan pengalaman estetik yang kemudian diturunkannya kepada putranya,Sukarno. Dalam beberapa contoh lainnya, Sukarno menunjukkan perhatian yang mengesankan pada karya seni bermutu tinggi. Hal ini bisa dilihat dari koleksi patung dan lukisan yang dimilikinya. Untuk yang terakhir, ia bahkan rela menghabiskan waktu dan uangnya supaya bisa mendapatkan lukisan-lukisan karya para maestro dunia seperti Diego Rivera, Ito Sinshui, dan William Russel Flynt.

Begitu juga Naoko, ia tertarik dengan Sukarno yang ganteng dan penuh kharisma. Pertemuan itu segera meninggalkan kesan di benak masing-masing.Naoko juga bilang, ” Begitulah, sejak pertemuan itu, Bapak banyak menulis surat kepadaku. Bahasanya romantis, dan ia tak segan-segan mengungkapkan rasa cintanya yang beribu-ribu kali kepadaku. Dan pada akhir suratnya, ia selalu menulis : ” I am constantly thinking of you. You know how I love you, 1000 kisses, Sukarno”. Bahkan, berdasarkan catatan hariannya yang belakangan diplublikasikan, Naoko menyebutkan bahwa ia sempat bertemu dua kali dengan Presiden Sukarno di Hotel Imperial Tokyo sebelum keberangkatan Sukarno ke Jakarta. Dalam sebuah keterangan yang belum bisa dikonfirmasikan tahun terjadinya, namun diperkirakan pada saat yang sama dengan peristiwa di atas, yakni Juni 1959, didapat informasi yang lebih jelas seputar kisah kasih dua anak manusia beda bangsa ini.

Beberapa menteri ikut merayakan hari ulang tahun Presiden Sukarno yang jatuh pada tanggal 6 Juni di Hotel Imperial, Tokyo. Bukannya senang, mereka malah gelisah. Mereka sedang membawa misi penting dari Tanah Air, dan sekaranglah detik-detik menentukan berhasil tidaknya misi itu. Gadis bar Naoko Nemoto dan Sang Pemimpin Besar Revolusi adalah objek misi itu. Menteri-menterinya kawatir kalau-kalau hubungannya dengan Naoko tentu bisa merugikan dan kontraproduktif. Musuh-musuh Presiden Sukarno merasa mendapat kesempatan sempurna untuk kembali menyerang moral Sang Presiden. Guna mengingatkan Presiden Sukarno atas api yang baru saja ia hidupkan dan bisa membakar dirinya-sendiri, maka diusulkan oleh Kolonel Soenarso agar Sukarno jangan ketemu lagi dengan Naoko. ” Lha, cara untuk memutuskannya bagaimana?’. Kolonel Soenarso, yang jelas senang, berpikir taktis. ” Gampang, Pak. Sekarang saja Bapak kembali ke Jakarta, tanpa memberitahu siapa pun, kecuali protokol pemerintah Jepang.”


residen sepakat. Sorenya, ia dan rombongan segera check out dari hotel dan terbang ke Jakarta. Malamnya, di hotel yang baru saja mereka tinggalkan, berdiri kaku seorang gadis muda. Naoko Nemoto, pelayan night club yang baru saja merasakan nikmatnya panah cinta, sangat terkejut karena seluruh kamar tempat presiden dan rombongannya menginap telah sepi penghuninya. Ia merasa sangat terhina dan disia-siakan. Ini pasti membuktikan betapa besarnya kekecewaannya : diambilnya pisau, dan ia melakukan bunuh diri. Untunglah, harakiri itu tidak mengambil nyawanya. Petugas hotel menemukannya, dan segera membawa gadis malang ini untuk mendapatkan pertolongan medis.



Cantik


Jakarta tampaknya menjadi kota yang terlalu terbuka untuk kabar apapun, termasuk apa yang terjadi di seberang lautan. Berita tentang percobaan bunuh diri yang dilakukan gadis bar Naoko dengan cepat menjalar ke Indonesia, dan tinggal menunggu waktu saja untuk hinggap ke telinga Presiden Sukarno yang supersensitif untuk urusan wanita. Benar saja, entah dari mana asalnya, Presiden tahu tragedi itu. Ia, yang merasa bertanggung jawab karena dicintai wanita yang sampai mencoba bunuh diri, tiba-tiba merasa sangat egois. Tanpa ada yang berani menghalangi sang presiden, ia langsung terbang ke Jepang.

Sekembalinya ke Jakarta, Sukarno rupanya tidak bisa menghilangkan wajah cantik gadis kabaret berusia 19 tahun itu dari pikirannya. Ia pun sempat mengirimkan surat-surat ” bernada mesra ” kepada Naoko melalui Kedutaan Besar Republik Indonesia yang ada di Tokyo. Naoko juga sempat beberapa kali mengirimkan surat balasan. Sukarno jelas pemikat hati yang ulung. Surat-suratnya memperlihatkan bahwa ia sama berapi-apinya untuk urusan pidato politik dan surat cinta. Naoko tidak malu-malu mengakuinya. Katanya, ” Sebagai wanita biasa, perasaanku jadi berbunga-bunga setiap kali membaca surat-suratnya. Dan aku meski saat itu masih begitu belia, berusaha membalas ungkapan hati Bapak dengan bahasa seadanya, bahasa cinta pula.

Sampai pada 18 Agustus tahun itu juga, datang surat Bapak untuk ke sekian kalinya. Tapi kali ini isinya berupa undangan agar aku mau berkunjung ke negaranya, Indonesia. Tanpa pikir panjang, ajakan itu kuterima. Apalagi aku tak seorang diri pergi ke sana. Kubo, yang mengenalkan aku dengan Bapak, ternyata diundangnya pula. Pada 14 September kami berdua terbang ke Jakarta, dan baru tiba keesokan harinya. Puncak dari hubungan jarak jauh itu, sebagaimana diungkapkan di atas, adalah sebuah surat tertanggal 18 Agustus 1959. Dalam surat yang sekali lagi membuktikan kekerasan kepala Sukarno dalam mendapatkan wanita yang disukainya, Sukarno mengundang Naoko untuk berkunjung ke Indonesia selama dua minggu. Selain mengajak Naoko, Sukarno juga memberitahukan rencananya ini kepada Kubo Masao.

Tak lebih satu bulan sesudah itu, tepatnya tanggal 14 September, Naoko berangkat ke Indonesia. Untuk menghindarkan kecurigaan, ia menyamar sebagai seorang karyawati Perusahaan Dagang Tonichi cabang Jakarta. Bersama Naoko turut pula Kubo Masao. Sehari kemudian mereka sampai di Jakarta. Pada waktu inilah Naoko menyadari bahwa ia telah dimanfaatkan oleh Kubo Masao untuk memperlancar usaha bisnisnya di Indonesia.

Belakangan, tepatnya tahun 1966, Kubo Masao mengelak tuduhan tersebut, meski ia mengakui peran penting Naoko dalam kontrak-kontrak ekonomi yang dia dapatkan sesudah memperkenalkan Naoko dengan Sukarno. Sebagai contoh, antara tahun 1960 dan 1963 Kubo Masao mendapatkan empat kontrak besar di Indonesia. Beberapa di antaranya adalah pembangunan Samudera Beach Hotel di Jawa Barat dan Hotel Ambarukmo di Yogyakarta. Sejumlah orang mencurigai keberhasilannya ini sebagai hasil dari usahanya mendekatkan Presiden Sukarno dengan Naoko.

Selama di Jakarta, Naoko tinggal menyendiri di asrama Tonichi di Jakarta. Barangkali hal inilah yang kemudian memudahkan Sukarno sewaktu menemuinya. Bahkan, Sukarno dengan nekad mengajak Naoko dalam setiap kunjungannya ke luar negeri. Sewaktu diperkenalkan kepada koleganya, Sukarno menyebut Naoko sebagai salah seorang sekretarisnya. Dalam kesempatan lain, ia menyebut Naoko sebagai istri dari rekannya, Kirishima. Kirishima sendiri adalah seorang pegawai di Perusahaan Dagang Tonichi cabang Jakarta.

Sekitar tahun 1962, hubungan Naoko dengan Kubo Masao memburuk. Naoko tidak senang dikendalikan sedemikian rupa oleh Kubo Masao. Naoko juga punya kepentingannya sendiri, dan dia merasa Kubo Masao tidak berhak mengatur-ngaturnya. Karena itu, Naoko memutuskan untuk melepaskan diri dari pengaruh Masao. Ia lalu mulai mendekat kepada Toyoshima, saingan bisnis Kubo Masao. Keputusannya pas dengan ketidaksukaan Presiden Sukarno atas bisnis-bisnis yang dijalankan Kubo Masao di Indonesia. Bahkan, Sukarno sampai memaksa Kubo Masao untuk menutup kantornya yang ada di Jakarta.

Lewat Toyoshima, Naoko berkenalan dengan Duta Besar Jepang di Indonesia, Oda Takio. Naoko tidak hanya dekat dengan Toyoshima, tetapi juga akrab dengan Perusahaan Dagang Kinoshita. Persahabatannya dengan orang-orang Jepang dari kalangan politik dan bisnis ini semakin memantapkan posisi Naoko di mata orang-orang Jepang yang ada di Indonesia. Dalam tahap selanjutnya, Naoko menjelma sebagai pintu utama yang harus dilewati sebelum masuk ke lobi-lobi penting dan pihak-pihak yang berkuasa di Indonesia. Tidak hanya itu. Nama Naoko juga semakin santer di kalangan petinggi-petinggi di Negeri Matahari Terbit. Pada bulan Juni 1961, Naoko mendapat kesempatan untuk berkenalan dengan calon ketua Partai Demokrat, Kawashima Shojiro. Bahkan, dalam sebuah kunjungan ke Jepang setahun berikutnya, Naoko bertemu dengan Takemi Taro, ketua Asosiasi Medis Jepang. Ia juga bersobok dengan direktur utama Perusahaan Konstruksi Kajima, Kaima Morinosuke. Dengan orang yang disebut terakhir ini Naoko mendiskusikan keinginannya untuk mendirikan sebuah rumah sakit di Jakarta.

Sementara itu, setelah menjalani percintaan backstreet sedemikian lama, Presiden Sukarno dan Naoko bosan juga. Menurut pengakuan Naoko, “ Selama tinggal di Jakarta, aku tak boleh tampil terang-terangan. Sedikit banyak, aku harus menyamar. Kubo lantas mengakui kalau aku adalah karyawatinya. Maka selama di Jakarta, aku tinggal di kantor perwakilan Tonichi. Hubungan kami bisa bebas, jika Bapak mengadakan kunjungan ke luar negeri. Selama kunjungan, aku biasanya dikenalkan sebagai staf sekretarisnya. Aku tak keberatan sama sekali. Aku tahu benar resiko yang harus ditanggung Bapak sebagai Presiden RI jika sampai ada yang tahu affair di anatara kami.” Diimbuhkan Naoko, “Tapi, hidup dalam penyamaran dan tak bebas menampilkan jati diri, sungguh membuat batin tersiksa. Apalagi diam-diam Kubo ternyata memanfaatkan diriku untuk meminta banyak fasilitas kepada Bapak. Dan akhirnya, Kubo memang mendapat sejumlah kontrak pekerjaan, di antaranya yang masih kuingat adalah pembangunan Monas, yang saat itu dianggap sebagai projek mercusuar.

Tapi aku tak mau terus dijadikan alatnya. Aku ingin melepaskan diri dengannya. Pada suatu saat Bapak rupanya tak berkenan dengan hasil pekerjaan Kubo. Sejak itu semua projek untuk Kubo dihentikan, sementara kantor perwakilannya ditutup. Dari pada membiarkan telinga menjadi panas karena mendengar isu-isu miring seputar hubungan mereka, Sukarno dan Naoko akhirnya memutuskan menikah secara resmi. “ Hubunganku dengan Bapak,” terang Naoko, “ mencapai puncaknya, ketika suatu hari lewat kurir kepresidenan ia menulis dalam secarik kertas: “Sudilah menjadi sumber kegembiraan saya, kebahagiaan saya, sumber kekuatan saya, sumber ilham saya….”



Cinta, romantisme, dan perempuan cantik selalu mengiringi perjalanan dan perjuangan Bung Karno.

Bahkan ketika masih sekolah di tingkat SMP, dia sudah berani menggandeng sinyo Belanda.

Putra Sang Fajar, demikian sebutan untuk Bung Karno, ini bahkan menikah ketika masih muda belia, 20 tahun.

Istri pertamanya adalah Oetari, putri HOS Tjokroaminoto, guru politik Bung Karno.

Di rumah guru politik yang ketika itu disebut Ratu Adil, Bung Karno tinggal sebagai anak kos sambil menyelesaikan pendidikan di HBS (SMA) di Surabaya.

Dalam buku Isteri-Isteri Bung Karno karya Reni Nuryanti (Ombak, 2007), disebutkan bahwa setelah pisah dengan Oetari, Bung Karno menikah dengan mantan ibu kos yang lebih tua darinya, Inggit Garnasih, di Bandung, 1923.

Ketika itu, dia masih kuliah di ITB.

Istri ketiga Bung Karno yang kemudian menurunkan trah politik adalah Fatmawati, 1943, lalu Hartini, 1952.

Di puncak kekuasaan, Bung Karno masih memperistri wanita-wanita belia yang semuanya cantik.

Pertama wanita Jepang bernama Naoko Nemoto yang berganti nama menjadi Ratna Sari Dewi. Naoko dinikahi pada 1962.

Belum cukup, Bung Karno masih melirik Haryati, yang dinikahi 1963.

Setahun kemudian, sang proklamator ini jatuh cinta pada gadis Manado yang masih duduk SMA VII Jalan Batu Jakarta, Yurike Sanger, yang dinikahi pada 1964.

Buku yang ditulis Kadjat Adra’i, mantan wartawan yang dekat dengan keluarga Bung Karno.

mengungkap kisah cinta Bung Karno dan Yurike. Sang istri yang masih sekolah tidak mampu menolak cinta sang presiden.

Bukan karena dia sangat berkuasa dan mampu memaksa, tapi dalam buku ini Yurike mengakui bahwa tatapan, rayuan, dan cinta yang tulus dari seorang manusia bernama Bung Karno yang diperlihatkan dengan sopan, santun, dan penuh tanggung jawab yang tak mampu ditolaknya.

Intinya, keduanya saling jatuh cinta dan akhirnya kedua orang tua Yuri pun setuju.

Kisah cinta layaknya pemuda dan pemudi, meski jarak usia Yurike-Bung Karno terpaut puluhan tahun, menarik untuk dibaca.

Bung Karno di dalam buku ini benar-benar tampil sebagai manusia biasa yang penuh gelora cinta, romantis, kadang cemburu.

Kala pacaran, Bung Karno sering mengantar pulang Yurike ke Tebet Barat, Jakarta Selatan, rumah orang tua Yurike.

Seusai pernikahan pun, Bung Karno menyempatkan diri menginap di rumah sang mertua, yang tentu sangat sederhana untuk seorang presiden/ panglima besar revolusi.
IP